06 Februari 2008

Pertarungan antar Master

Sabam Siagian, hebat betul tulisan Bapak tua ini, meskipun kelakuan bikin hati panas tapi dengan berat hati harus saya akui kehebatannya. Membaca bantahannya atas tulisan Emil Salim di kompas, "Tawanan dalam Gelanggang", membuat saya semakin mengaguminya. From my deepest heart: Salut Pak!

Hal semacam ini rasanya sudah semakin langka di dunia pers Indonesia, tulisan balas tulisan, mungkin kelamaan dididik gaya street justice orba. Ya Bapak Tua ini jelas didikan Belanda sih, kasar, sarkastis, tegas; jadi ingat perbincangan dosen2 mesin di PSTK tentang dosen-dosennya dulu yang didikan belanda, betapa beratnya menjadi mahasiswa. Kalau sekarang jangankan jadi mahasiswa, lulus pun gampang! Trade off nya nyari kerja susah. Yah untung aja HRD gak sebodoh pencari kerja kerjanya, tahu aja mereka bibit-bibit unggul.

Balik ke Sabam, [punten abdi copy paste]
Bagaimana tulisan tentang superioritas ilmu ekonomi diatas ilmu politik dibantah dengan taktis dan manis.
Sebagai ekonom terkemuka, dapat dipahami jika Prof Emil Salim seperti menyindir daya mampu dan kegunaan ilmu politik. Tulisnya, ”Ilmu ekonomi menggunakan perhitungan rasional yang terukur dalam nilai ekonomi dan harga pasar sehingga bisa direncanakan kebijakan memecahkan masalah sebelum (exante) masalah tumbuh lebih besar. Ilmu politik sebaliknya bersifat kualitatif dan sulit diukur secara kuantitatif sehingga sulit membuat ramalan dan prediksi.” Taruhlah secara umum kita setuju pendapat Bung Emil ini, tetapi ada kecualian yang penting dalam hal seorang sarjana ilmu politik dan kaitan teorinya dengan situasi Indonesia. Profesor Samuel Huntington dari Universitas Harvard yang mempelajari pertumbuhan lembaga-lembaga politik di negara-negara berkembang tahun 1968 menerbitkan karya yang menjadi klasik, Political Order In Changing Societies (Yale University Press). Pada Bab 1 yang bertema Political Order and Political Decay dikemukakan teori, kesulitan yang dihadapi negara-negara berkembang di bidang pembangunan politik justru meningkat setelah mereka relatif berhasil mencapai sukses awal dalam pembangunan ekonominya. Tulisnya, antara lain, jika lembaga-lembaga sosial politik di negara-negara itu tidak ikut berkembang dan tidak mampu menampung serta menyalurkan aspirasi-aspirasi baru, yang timbul justru karena keberhasilan ekonomi mereka, terjadilah political decay, kerapuhan politik, bukan political development, pembangunan politik.


Taktis dan pas banget dengan kondisi Indonesia. Kalau mau pinter emang musti sering baca ya Pak? Hebat deh... dulu sekolahnya apa ya?

Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998 karena di papan percaturan kompetisi kekuasaan, ia sudah tersudut. Semua pion telah tumbang. Agaknya terlalu simplistis untuk menghakimi Harmoko, Ginandjar Kartasasmita, BJ Habibie, dan Jenderal Wiranto sebagai Brutus yang mengkhianati Cesar tua.


Ia mundur secara mendadak pada 21 Mei 1998 bukan ”guna menghindari pertikaian lebih besar antaranak bangsa” seperti ditulis Bung Emil. Justru sebagai sikap ngambek, seperti kata orang Betawi (Jakarta) rasain lu dengan Habibie yang cenderung labil itu sebagai presiden. Seyogianya Soeharto menyiapkan proses suksesi jauh sebelumnya secara teratur dan rapi.

Bagus juga tulisan yang ini, ya meskipun kurang original, tapi masih berjiwa muda...

coño!

Tidak ada komentar: