25 Oktober 2009

Nice latex tutorial

http://www.andy-roberts.net/misc/latex/

I fell several times into this incredible site; first when I got trouble with float related to graphic embedding, second about pool_size, and the third about bibtex. Those are what I remembered, definitely more.

When latex manual in linux doesn't give any valuable information, I feel this site is really useful.

16 Juni 2009

copy paste clipboard into emacs


It was quite long time I could not find out how to copy clipboard into emacs editor. I didn't find any clue, even in the information flooded internet. Until my linux freaky friend told me how to do it.

The solution is very simple. It is a simple basic principle in linux. Block the text you want to copy using mouse. Move to emacs screen, put your mouse cursor in desired position. Press middle click, or in some laptop this middle click is emulated by clicking left and right click together.


09 Juni 2009

free will

Melanjutkan bahasan tentang finite of an infinite yang dikaitkan dengan free will, dalam bahasa Indonesia adalah kebebasan berkehendak. Kayaknya Miss Indonesia 2009 gak bisa deh mengartikan free will ini ke bahasa Indonesia.

Adalah Benedictus Spinoza yang merumuskan bahwa sebenarnya manusia tidak mempunya free will. Sebuah pernyataan yang sesuai dengan teori saya. Berikut pernyataan Spinoza,

"There is no mind absolute or free will, but the mind is determined for willing this or that by a cause which is determined in its turn by another cause, and this one again by another, and so on to infinity."

Penafsiran saya free will itu memang tidak ada, semua hal itu ditentukan oleh hal-hal lain. Jadi ketika suatu hal tidak diajarkan, atau suatu hal tidak dapat dihasilkan melalui suatu penalaran(dari hal-hal yang diajarkan) maka hal itu tidak akan ada. Lebih lanjut tentang hal-hal lain yang disebabkan oleh hal-hal lain dan seterusnya sampai infinite akan sampai pada pernyataan yang sama dengan masalah infinity, finite ke mana?

05 Juni 2009

Hambatan Struktural dalam Pendidikan


Sebuah postingan menarik tentang "Beasiswa ITB untuk Semua", yang membuktikan bahwa pintar saja tidak cukup untuk menikmati kuliah. Masih ada banyak
halangan struktural yang menghambat bahkan menghentikan kesempatan anak bangsa melanjutkan pendidikan tinggi. Dalam kisah berikut ini saja saya temukan antara lain:
1. Lingkungan yang belum sadar akan perlunya pendidikan. Tidak adanya dukungan lingkungan atau bahkan cemoohan dari lingkungan akan membuat siswa sepintar apapun kehilangan motivasi.
2. Keperluan surat-surat legal. Hal ini merupakan dampak atas kurangnya pengetahuan orang tua, kondisi ekonomi dan kondisi tempat tinggal yang jauh dari pusat administrasi pemerintahan.
3. Kemampuan ekonomi orang tua.
4. Lokasi tempat tinggal

Dengan berbagai hambatan tersebut diatas jelas bisa membuat kandidat mahasiswa berkecil hati, putus asa dan berhenti. Namun dengan bimbingan, pengorbanan dan usaha orang-orang yang mau dan mampu hambatan tersebut bisa sirna. Hanyalah keajaiban yang bisa membuat siswa-siswa ini keluar dari belenggu lingkungannya, disinilah diperlukan keberadaan pihak lain yang mau dan mampu mewujudkan mimpinya. Saya yakin sebenarnya banyak orang yang mau membantu tapi tidak mampu, ataupun mampu membantu juga tapi butuh teman seperjuangan. Kemauan dan kemampuan hanya akan jadi angan-angan jika tidak dikelola dengan baik, namun ketika hal kecil-kecil itu bisa dikelola sebuah karya besar akhirnya bisa tercipta.

Berikut ini kisahnya: (saya copy paste dari sebuah milis)

Ditulis oleh Sri Pujiyanti
ITB untuk Semua: The Experience


Ketika Lemet mengajak saya untuk terlibat di program beasiswa ini, saya
tidak menyangka bahwa akan semenguras emosi seperti ini. Saya pikir, ini
akan jadi sebuah pengalaman yang biasa-biasa saja.

Akan tetapi, ternyata pengalaman yang saya rasakan berbeda. Saya ikut
terlibat, berkali-kali menangis dan tertawa ketika anak-anak itu menangis
dan tertawa. Padahal saya tidak kenal mereka.

Dimulai ketika proses seleksi dan saya harus membaca aplikasi sekitar 100-an
buat dinilai. Reaksi saya beragam terhadap aplikasi yang saya baca. Kadang
saya marah, karena saya merasa si anak tidak melakukan apa-apa kecuali
mengeksploitasi kemiskinannya (please..ini bukan ajang reality show..),
kadang saya ikut menangis dan ikut marah. Kesedihan dan kemarahan terhadap
sistem yang seringkali terbaca di aplikasi itu. Anak-anak perkasa yang
membuat saya malu karena saya-dibandingkan mereka-terasa begitu lemah.
Kemalangan yang sering saya rasakan terasa tidak sebanding dengan mereka.
Rata-rata memuja ITB. Ketika kemarin saya bilang, pada seorang anak peserta
beasiswa yang ke Bandung, bahwa ITB tidak seharusnya semahal ini, dia
menatap saya, dan berkata, wajar, dengan kualitas seperti ITB...dan saya
balik menatap dia dengan sedih, tidakkah ketika perguruan tinggi yang
harusnya memberikan tempat buat semua orang yang memiliki kapasitas kini
diembel-embeli juga kemampuan secara finansial sudah merenggut harapan akan
perubahan masa depannya? Si anak itu tidak menyadarinya, bahwa negara sudah
bersikap tidak adil padanya...

Naik turunnya emosi saya kemudian benar-benar terjadi ketika proses
pengumpulan 200 siswa SMA terpilih untuk mengikuti proses seleksi USM di
Bandung. Saya bertugas menghubungi 12 anak untuk memastikan perjalanan
mereka lancar sampai Bandung. Rata-rata mereka antusias. Ada yang cemas
karena tidak mau naik pesawat. Ada yang saya sampai harus membujuk ayahnya
supaya melepaskan anak perempuannya sendiri pergi ke Bandung dari Belitung
yang jauh, dan beliau menelpon saya setiap menit setelah anaknya berangkat,
ingin tahu kabarnya. Ada yang cerewet dan tidak berhenti bertanya. Ada yang
tidak ditemukan. Satu anak. Adi Wijaya. Di sebuah daerah antah berantah di
Lampung Selatan. Tidak ada telpon, tidak ada internet. Saya bingung.
Kesempatan ini tidak boleh dibuang. Untungnya, pada saat-saat yang mepet,
Febi (alumni Gea 94) menghubungi Rezi dan Mbak Nunik, pasangan suami istri
alumni Fisika 93, dan pada malam keberangkatan ke Bandung, berangkatlah
mereka dari Bandar Lampung ke Lampung Selatan mencari Adi Wijaya. Satu
kampung diubek-ubek. Alamatnya tidak jelas. Akhirnya, Mbak Nunik 'menyeret'
sang kepala desa' mencari, dan pukul lima sore, mereka berhasil menemukan
Adi WIjaya yang kebingungan. Tes USM? Ke Bandung? Saya bilang, tiket bis ke
Bandung di Bandar Lampung sudah menanti. 4 temannya yang lain sudah
menunggu. Adi, dengan perbekalan seadanya dan persyaratan yang belum
lengkappun, dikirim Mbak Nunik pukul setengah delapan naik bis ke Bandung.
Wow, ketika dikabari Mbak Nunik bahwa mereka berhasil menemukan Adi, saya
kagum dan merasa, wow..kalau alumni ITB ini bersatu, apa yang tidak bisa
mereka lakukan ya?

Ketika mereka mendaftarkan diri, mulailah masalah itu dimulai. ITB
sebenarnya sudah menyediakan waktu khusus untuk mereka sehingga tidak harus
berdesakan dengan 2000-an peserta lain yang membayar 800 ribu, akan tetapi
miskomunikasi yang terjadi membuat semua orang pontang panting. Tiba-tiba
syarat tes buta warna yang sebelumnya tidak mengemuka muncul. Sempat muncul
kepanikan gimana caranya 200 anak harus tes buta warna dalam waktu dua jam?
Akhirnye beberapa relawan menggiring anak-anak itu ke poli ITB. Karena hari
itu hari Jumat, dan jam 11 tutup, kemudian sebagian digiring ke Boromeus.
Anak-anak itu jalan kesana kemari, kelelahan. Tiba-tiba ada kabar bahwa
loket akan tutup pukul 11 dan anak-anak yang belum mendaftar sampai pukul 11
tidak akan diperbolehkan ikut tes keesokan harinya. Kami semua tercengang.
Langsung beberapa orang mengangkat telpon mencoba mengulur waktu. Pak DL pun
langsung muncul, mencoba membantu melonggarkan peraturan. Akhirnya, waktu
diperpanjang, tapi tes harus beres. Jadilah kami semua berjalan
rektorat-poli Salman-Boromeus tidak berhenti.

Belum selesai. Muncul isu bahwa kartu UN tidak bisa dipakai. Harus surat
keterangan mengikuti UN dari sekolah. Paniklah anak-anak yang tidak
mempunyai surat itu. Adi, yang datang ke Bandung cuma berbekal surat
keterangan domisili dan kartu UN, hampir menangis di loket. 'Mbak, saya ga
boleh daftar,' dia berbisik pada saya dengan wajah bingung. Bapak petugas
kemudian menjelaskan peraturannya. Saya mengangguk, kemudian bercerita
tentang kisah Adi. Si Bapak lalu sepakat, ok, tapi difax ya surat yang belum
lengkap? Adi menggeleng, 'Tidak bisa, Pak.' Si Bapak bertanya.'Masa fax aja
ga ada?' Si Adi dengan tercekat berkata,'Disana bukan Bandung, Pak...'. Saya
menendang kakinya. Sanggupi saja. Nanti kita urus. Adi kemudian mengangguk.
'Iya Pak, nanti saya coba'. Ketika dia kemudian saya tawari makan, dia sudah
ceria lagi.

Perlahan-lahan urusan mulai beres. Anak-anak yang kelelahan mulai makan,
tapi masih semangat. Ketika setelah makan Adi kembali lagi ke loket, tidak
berapa lama kemudian dia kembali lagi ke saya dengan wajah kembali
sedih.'Katanya ga boleh, mbak.' 'Lho, tadi?" "iya, sekarang katanya ga
boleh.'

Saya mulai naik darah.'Kenapa ga boleh?' 'Karena katanya sudah dikasih tau
sebelumnya bahwa harus ada akta kelahiran. Kalau sekarang ga ada akta, ga
boleh.' 'Tapi kan kamu TIDAK TAHU SEBELUMNYA. Surat dari ITB tidak sampai.
Dan kamu cuma punya waktu dua jam buat mempersiapkan diri.' Tiba-tiba saya
ingin menangis. Menatap wajah anak itu, yang bingung, sedih, marah, saya
merasa jadi dirinya, yang hidupnya, nasibnya, dipermainkan sebuah sistem.
Apa tidak ada kebijakan? Tiba-tiba ingat kata-kata kakak ipar saya yang anak
psikologi.'Anak eksakta kan begitu. Kaku. Kadang esensinya ga jelas.' Dan
saya seperti menemukan kebenaran kata-kata itu pada saat itu.'Gimana dong,
Mbak?' 'Balik lagi ke sana.' 'Ga boleh, mbak.' Lalu saya bertanya pada
panitia lain,'Kok ITB ketat sekali sekarang? Dulu saya ga disuruh
menyerahkan akta asli' Seseorang menjawab.'Joki.' Saya menyembur dengan
kesal.'Lihat dong wajahnya. Apa dia bertampang bisa bayar 5 juta buat joki?
Dia bukan MEREKA. Anak-anak yang entah dirinya entah orang tuanya, ingin
masuk ITB dengan segala cara. Saya kemudian meminta seorang teman, yang
setau saya pandai membujuk (:D) untuk menemani Adi. Saya marah. ingin
nangis. saya harus pergi dari sini. ketika endah menelpon saya dan bilang
salah satu anak asuhannya rusak kacamatanya, saya kemudian memilih menemani
anak itu mencari optik.

Ketika jam 5 saya kembali ke lapangan aula barat, adi masih belum terlihat.
juga charly, teman saya itu. saya gundah. saya tanya seorang teman,'gimana
adi?' 'belum, masih dilobi.' saya tambah tidak enak badan. seorang teman
berusaha menghibur dan bilang.'itu yang paling baik buat adi.' saya
menggeleng.'dia mungkin akan sukses tanpa ITB.' saya menggeleng lagi.kenapa
harus begitu sulit untuk anak-anak seperti dia? hidup sudah cukup sulit buat
mereka. apalagi yang harus mereka buktikan pada Tuhan sehingga Tuhan memberi
mereka ujian lagi? saya akhirnya memutuskan pulang. mampir dulu ke
penginapan anak-anak itu, memastikan konsumsi makan malam beres. lalu
pulang. di jalan saya meledak. menangis sepanjang jalan. suami saya
menelpon. dan dengan diiringi isak tangis sayapun bercerita. saya marah,
seperti inikah seharusnya ini berakhir? seperti inikah potret manusia
kebanyakan di negeri ini? akta kelahiran yang dua ratus ribu pasti sulit
untuk sebagian orang. seperti inikah keadilan di negeri ini?

saya tahu kalau saya sudah terlibat emosi terlalu dalam, sayapun berusaha
mengambil jarak. bermain dengan anak-anak saya. walaupun saya tahu, saya
masih berpikir tentang anak satu itu. ketika lemet mengsms bahwa semua
peserta telah beres pendaftarannya, saya cuma mengsms balik dengan satu
kata.'adi?'

alangkah leganya ketika lemet menjawab.'adi aman'. saya mulai tersenyum.
duhh...padahal dia bukan anak saya. saya tidak kenal dia. kenapa saya harus
ikut tersenyum dan menangis bersama dia?

ketika pagi harinya saya harus ke kampus mengantarkan satu anak yang tidak
berseragam-mencari dulu seragamnya-daerah seputar itb sudah penuh sesak.
mobil-mobil bersesakan. dan entah kenapa saya marah. sebal melihat mereka
yang dengan seenaknya menaruh mobil dimana saja, bahkan di tempat yang ada
larangan parkir, hanya karena mereka punya mobil, mereka butuh parkir, dan
anak mereka mau ujian (saya lupa, saya juga bawa mobil...:D tapi saya
rasanya tidak pernah seenaknya). saya marah melihat anak-anak yang dikawal
kedua orangtua dan adik-adiknya menjinjing tas mahal dan mungkin keluaran
bimbel paling canggih melangkah masuk kelas (saya tahu, saya mulai jadi
rasis...padahal mungkin suatu saat saya akan bersikap seperti itu pada anak
saya). saya sedih melihat anak-anak saya, 200 anak itu, harus jalan dari
rektorat ke itb karena jalan macet dan bis tidak bisa lewat. wajah mereka
lelah. mereka tidak mampu ikut bimbel yang harganya selangit. sepatu mereka
pinjaman sehingga longgar dan melecetkan kakinya. saya tidak suka bahwa ITB
tidak mempedulikan kenyataan bahwa pengguna jalan lain terganggu dengan
kemacetan itu. Saya terjebak macet 2 jam dari gelapnyawang ke rektorat yang
kalau ditempuh dengan jalan kaki hanya 5 menit. Apakah itu sebuah tolok ukur
yang harus dibanggakan? Berapa panjang kemacetan karena ujian ITB? Bisa
dibandingkan dengan berapa kilometer antrian orang ingin membeli sepatu
crocs? Apakah ITB sudah direduksi sedemikian rupa sehingga hanya menjadi
barang konsumsi? Seperti sebuah sepatu? Siapa yang punya uang dia yang
dapat?

Ketika sore sebelumnya fani tiba-tiba jadi danlap dan menyerukan salam
ganesha yang legendaris itu-anak-anak itu bersemangat mengikutinya-saya
tiba-tiba merasa berada di tanah asing. saya merasakan campur aduk.
ah...pengalaman yang memperkaya. mudah-mudahan anak-anak perkasa itu
mendapatkan jalan yang paling baik. dan saya, yang disentuh oleh mereka, mau
berbuat sesuatu.

-untuk 200 adik-adikku yang hari ini mengikuti ujian, saya mendoakanmu
dengan tulus. jadi orang yang baik ya. itu yang paling penting. suatu saat,
kamu bisa membantu 200 orang yang lain. dan buat para relawan yang bekerja
tanpa dibayar, tidak dikasi makan, dan tetap semangat 24 jam, two thumbs
up!!!!-

yang juga harus dicatat disini adalah kegigihan para relawan yang tidak ada
duanya. ada yang sampai nyari sendiri ke rumah si anak...febi yang
menggunakan jaringannya (maksudnya, teman dan adiknya) buat mencari
anak-anak yang belum ditemukan, ben yang sampe googling the earth dan
menelponin tiap rumah di satu kompleks untuk sampai ke anak yang dimaksud,
mbak nunik dan rezi yang bela-belain banget. ada yang bayarin peserta dari
kantong sendiri...sungguh memberikan harapan ketika orang-orang mengeluh
pada saya bahwa mereka tidak punya cukup waktu untuk membantu lebih banyak
(atau marah karena mereka tidak bisa membantu!). dan kepeduliannya itu. febi
yang selalu nanya, si adi gimana? (padahal bukan anaknya...). Mbak Nunik
yang berkali-kali menelpon setelah mengirim Adi memastikan anak itu
baik-baik saja, dan kemudian membantu membuatkan surat kelahiran yang baru.
with angels like you (yah, kalian semua volunteer yang tidak saling kenal
tapi teuteup cengengesan)...the world seems a better place...

17 Mei 2009

great choice


Little bit late post.
Actually I really surprised with SBY decision to choose Boediono as his vice president candidate. In my opinion Boediono is non partisan. He is totally a professional who is not known in grassroot level. Observing this choice I can figure out that SBY is really confident, and likely this pair will lead this country for the next five years. I pray for them may God lead them to right path to lead this nation to better life.

Taken from BI website:

Born in Blitar East Java on 25 February 1943, obtained his Bachelor’s degree in Economics at the Gajah Mada University, Yogyakarta. In 1972, obtained his Master Degree of Economics at Monash University, Australia. Boediono obtained his Doctoral degree in Business and Economics at Wharton School University of Pennsylvania, USA 1979.

In 1996 – 1997, he was appointed s a Director of the Directorate of Rural Bank Supervision and as a Director of the Directorate of the Operational and Monetary Management in 1997 – 1998. After he spent his career in Bank Indonesia, Boediono assigned as Minister of Republic Indonesia for three Cabinet Periods namely State Ministry of National Development Planning/Chairperson of the National Development Planning Agency, Ministry of Finance (2001 – 2004), and Coordinating Minister for the Economy (2005 – 2008).

Boediono was appointed as Governor of Bank Indonesia pursuant to the Republic Indonesia Presidential Decree Number 34/P/2008. dated 15 May 2008

why?

What's the matter with PKS? Several days ago they made a reactive response to SBY decision to choose Boediono as his vice president candidate. The respons was given by Anis Matta. Some more reactive response even suggested PKS to leave coalition with Demokrat.

Yesterday, in SBY-Boediono candidacy declaration their party leader attended it and vowed this party support to SBY decision. Today I got even more strange news said that the SBY-Boediono speech during their candidacy declaration is following order from PKS. What? Come on don't make people laugh, be humble.

But I still not able to conclude anything, It is right that this a matter of image that is constructed by news, propaganda, whatever and I didn't know which one is correct and what lies behind any statements. But something struck my mind and made me lost a fragment of trust to this party.

11 Mei 2009

Subhanallah

Membaca berita antara tentang tentara yang hafal Al-Quran rasanya jadi malu, padahal punya lebih banyak waktu dan kemudahan. Sudah berkali-kali berusaha tapi kok ya tidak bisa istiqomah. Ada aja alasan untuk berhenti, sementara sulit sekali membuat alasan untuk melanjutkan lagi.

Go Tik Swan

Terkejut pagi ini membaca sebuah berita ttg Radya Pustaka yang menuliskan "Go Tik Swan(almarhum)". Betapa kehilangan rasanya, terlebih kabar ini begitu terlambat, beliau meninggal 5 November 2008 yang lalu, pada usia 77 tahun.

Pertama kali mengenal nama ini di kisaran tahun 2004/2005 ketika diadakan pameran batik di aula barat. Sebuah karya beliau dipajang disana, kain pagi sore berlatar putih. Sebuah karya yg sangat indah dan tak terkira bagaimana membuatnya, garis-garis canting yang begitu bersih, tipis, dan tegas. Entah apakah masih ada orang yang bisa membuat karya seindah itu, semoga saja masih ada dan akan selalu ada.

Sugeng tindak Go Tik Swan, semoga diberi kelapangan di alam sana. Karyamu dan namamu akan senantiasa abadi.

10 Mei 2009

h o p e

They don't need money

They need hope
They need courage
They need leader

They need you

02 Mei 2009

veronica guerin

I don't know exactly when this speech was delivered, but in the same year, 1996, she
was shot to death somewhere outside Dublin.

12 Maret 2009

economy stimulus

Building infrastructure is believed to be one of economic stimulus, especially in this crisis time. Sometimes this infrastructure is built with less consideration what the functionality of infrastructure suppose to be. The infrastructure is built just to make the economy moves or even run.

The sample of this is Japan, and now Obama seems aware of it.
HAMADA, Japan: The Hamada Marine Bridge soars majestic over this small fishing harbor, so much larger than the squid boats anchored below that it seems out of place....

The fruits of that obsession are apparent across Shimane, a rural prefecture about the size of Delaware, where Hamada is located. Each town seems to have its own art museum, domed athletic center and government-built tourist attraction like the Nima Sand Museum, a giant hourglass in a glass pyramid. The prefecture, with 740,000 residents, even has three commercial airports able to handle jets, including the $250 million Hagi-Iwami Airport, which sits eerily empty with just two flights per day.


I suspect the assignment of many(many) state employee in Indonesia is falling into this class of case, they were recruited and paid for making the economy moves.

another hidden in america

COSTA MESA, California: Greg Hayworth, 44, graduated from Syracuse University and made a good living in his home state, California, from real estate and mortgage finance.


Itulah tulisan koran IHT hari ini.

I wonder how about Indonesia?

"El crisis afecta todo el mundo", my friend said.

hablum minan naas

Interaction between human and other human.

Yesterday in a bus I saw a hurt feeling scene. A bearded "moslem look like" young man, who didn't know how to behave. He seated without awareness of people around him. Instead of giving his seat to old man or old woman he ignorantly clung his seat and let them stand up. I wonder what is in his head? If he is a muslim it will be a bad image of this wonderful religion. Moreover for sure he is not a good muslim who is taught how to behave among fellow human.

Ironically the native people I met are really much more nicer(this super superlative is intended to emphasized the situation). An old woman who kindly took me to my direction when I asked her and a young woman who come to me and show me how to reach the halte when I was in confusion eventhough I didn't ask her! Amazing.

Ironic.

15 Februari 2009

dasar!

Iseng-iseng baca barackberry yg cuma seharga US$3000-an kok jadi pengen bandingin ke vertu. Di situs vertu kok justru menemukan yang lebih ajaib lagi.



Berapa banyak sih penggunanya di negara miskin semacam Indonesia, kok sampai ada bahasa indonesia segala. Ah emang tipikal negara korup!

23 Januari 2009

penjualan manusia via Entikong

Mengerikan! Polri ngapain aja?
Sebenarnya ingin saya posting linknya aja, tapi akses ke Kompas lambat banget, jadi ya dicopy apa adanya dari Kompas:

Jejak Hitam di Jalan Sutra
Jumat, 23 Januari 2009 | 02:22 WIB

Oleh Ahmad Arif

Pada satu pagi bergerimis, Kamis, 8 Januari 2009. Gerbang Pos Perbatasan Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sudah ramai dijejali orang dan mobil yang bergegas hendak menyeberang ke Malaysia.

Sebuah bus antarnegara dari Pontianak menuju Kuching berhenti. Para penumpang turun untuk mengecap paspor. Namun, tak ada petugas yang mengecek penumpang yang tetap berada di bus. Sementara itu, Mobil pribadi merayap pelan tanpa dihentikan petugas. Sebagian berpelat nomor Malaysia.

Di Entikong, sebagian penduduknya memang memiliki mobil bernomor polisi Malaysia. Hanya sedikit kendaraan yang berhenti. Dan, mereka segera diserbu calo borang yang menawarkan jasa untuk mengisi formulir keberangkatan dan mengecapkan paspor ke loket imigrasi. Tarifnya Rp 5.000-Rp 10.000 per orang.

”Bahkan, kita juga bisa bawa mobil ke Tebedu, Malaysia, tanpa mengecap paspor maupun mengurus pas masuk untuk mobil,” kata Kepala Desa Entikong Markus Sopyan.

Siang itu kami membuktikan omongan Markus tersebut. Mobil bernomor polisi Kalbar yang kami tumpangi melewati pos imigrasi Entikong tanpa dihentikan petugas. Di pos imigrasi Malaysia, mobil juga bebas melenggang. Kami pun menyusuri Negara Bagian Sarawak tanpa mengecap paspor maupun mengurus izin masuk untuk kendaraan.

Jaringan antarnegara

Melalui Jalan Sutra—istilah setempat untuk jalan utama di wilayah Entikong hingga perbatasan Tebedu—itulah pada 8 Juni 2008, Santi (15)—bukan nama sebenarnya—diselundupkan ke Malaysia tanpa paspor. Siswi kelas II SLTP ini diculik ketika berangkat ke sekolah di Bandar Lampung. Dia dibawa ke Pontianak, disekap di Entikong, lalu dijual kepada sindikat pelacuran di Malaysia.

”Saya membawa dia lewat pos Entikong tanpa diperiksa. Di pos imigrasi sudah ada yang mengatur,” kata Nurdin, anggota jaringan yang bertugas membawa korban melewati pos perbatasan.

Kelonggaran pemeriksaan di gerbang perbatasan Entikong jelas mempermulus gerak sindikat perdagangan manusia antarnegara. Namun, Kepala Kantor Imigrasi Pos Lintas Batas Entikong Sugeng Harjanto membantah keras hal ini. ”Tak mungkin gerbang Entikong dijadikan jalur trafficking. Tak semudah itu membawa korban trafficking lewat pos, kami sudah melakukan pemeriksaan ketat,” katanya.

Sugeng lalu memberi data tentang 91 perempuan dan 15 laki-laki yang ditolak berangkat ke Malaysia selama tahun 2008 karena tak memiliki dokumen lengkap. Pada tahun yang sama, jumlah WNI yang melewati pos perbatasan Entikong ke Malaysia tercatat 225.831 orang.

Namun, Sugeng mengakui, pihaknya memberi kelonggaran kepada warga Entikong untuk lewat tanpa mengecap paspor. ”Imigrasi Malaysia juga melakukan hal yang sama. Staf kami sudah mengenali semua warga Entikong, biasanya mereka hanya belanja ke Tebedu. Jika mau keluar dari Tebedu tanpa paspor, pasti berisiko karena setelah di Serian ada pos pemeriksaan polisi Malaysia,” katanya.

Faktanya, banyak korban trafficking diselundupkan dengan memanfaatkan celah ini. Modusnya, korban dibawa dengan mobil pribadi lewat pos perbatasan seolah-olah hendak belanja. Di Tebedu, korban dijemput anggota sindikat dengan mobil Malaysia.

Enam dari delapan korban trafficking yang kami temui di penampungan Konsulat Jenderal RI di Kuching menyebutkan, mereka masuk ke Malaysia dengan modus ini. Mina (23), juga bukan nama sebenarnya, dibawa Diana dan Tus—keduanya warga Entikong—melewati gerbang Entikong awal Februari 2008. ”Kami naik mobil Kijang merah. Diana dan Tus seperti sudah kenal petugas di perbatasan. Kami tidak diperiksa,” kata Mina.

Kepala Kepolisian Sektor Entikong Ajun Komisaris Miko Indrayana mengakui, bebasnya warga Entikong keluar-masuk pos perbatasan tanpa pemeriksaan paspor rentan disalahgunakan. ”Kami sudah menangkap beberapa pelaku yang akan menyelundupkan orang lewat pos. Korbannya sebagian anak-anak,” ujarnya.

Lebih repot lagi adalah menangkal masuknya korban trafficking yang sudah dibuatkan paspor oleh anggota sindikat. Karut-marut pendataan kependudukan mempermudah pembuatan paspor aspal, asli tapi dengan data palsu.

Seli (16), korban trafficking asal Indramayu, mengaku dibuatkan paspor oleh agen TKI di Jakarta. Namanya diubah, umurnya dituakan menjadi 21 tahun.

Banyak celah untuk menyelundupkan korban ke Malaysia. ”Mobil bernomor polisi Malaysia biasanya tak dihentikan oleh polisi di pos Serian. Yang dihentikan hanya mobil bernomor polisi Indonesia,” kata Ade Alhatta, sopir truk Entikong-Kuching.

Hari itu, Jumat, 9 Januari 2009, tak ada pemeriksaan di pos polisi Malaysia di Serian. Mobil yang kami gunakan melenggang dari Tebedu hingga Kuching. ”Memang tak tiap hari ada pemeriksaan,” kata Ade.

Begitu korban trafficking berada di wilayah Malaysia, mereka dengan mudah dipindahtangankan dan diperlakukan semaunya oleh anggota sindikat. ”Ribuan orang Indonesia diduga terjerat jaringan sindikat trafficking ini,” kata Komisaris Hendra Wirawan, perwakilan Polri di Kuching. Di sana, perempuan-perempuan itu disiksa dan dilacurkan.... (C Wahyu Haryo PS)

16 Januari 2009

ceroboh

Begitulah komentar saya tentang berita2 ini
BBC
Antara
Seharusnya pengurus bisa lebih berhati-hati, dan ketika semua telah terjadi sebaiknya mengakui kesalahan saja, daripada menyangkal apa yang benar-benar terjadi. Kalau terbukti bohong akan lebih memalukan lagi.

12 Januari 2009

06 Januari 2009

for computer scientists


http://www.janestreet.com/technology/ocaml.php

Such an explainable stuff during my undergraduate. How could be such programming paradigm get the claws in this respectable area. It's really a great opportunity for computer scientists who cling on scientific field instead of hacking.

It was nine or ten years ago, when I was introduced to LISP and prolog, which that time considered as unprospective programming language, therefore soon they were left and I switched to procedural language; C, pascal and the descendants.

Anyhow I must realize that this is not for mediocre. Meanwhile job market demands more procedural programmer that must be filled.

This post is only encouraging top students to stick to their area of interest instead of devoting theirselves into market demand which is suitable for mediocre like me. Somehow there must be appreciation for hardwork, somewhere!