13 Februari 2008

And the oscar goes to ...


Falling Slowly, O.S.T Once

[applause]

[standing ovation]


[silent]

11 Februari 2008

maju terus


Nyasar ke blog Pak Hasanuddin Z. Abidin, nemu tulisan beliau,
Seperti PNS lainnya, permasalahan klasik yang melilit kehidupan sehari-hari seorang dosen adalah tidak adanya keamanan keuangan (financial security) yang diakibatkan oleh rendahnya gaji yang diterima relatif terhadap kebutuhan sehari-hari yang mesti dibiayai. Sebagai contoh, untuk saya pribadi yang telah mengabdi selama 16 tahun dengan jabatan akademik saat ini Lektor Kepala, gaji bersih yang saya terima perbulannya adalah sekitar Rp. 1.7 juta atau sekitar USD.170. Dengan empat anak yang sudah bersekolah, kalkulasi tukang sayur pun dengan cepat akan menunjukkan bahwa gaji tersebut tidak akan mencukupi untuk kehidupan sehari-hari yang layak. Apalagi kalau mau membeli textbook yang harganya sekitar USD.80 – 100 per buku, atau berlangganan jurnal ilmiah asing yang juga berkisar sekitar USD.100 per tahunnya.

Ngeri juga...
Tapi kalo mengingat kata William Faulkner “Given the choice between the experience of pain and nothing, I would choose pain”.

I wouldn't lose from you Faulkner!

I believe in Butterfly Effect, Chaos Theorem, and Blessing in Disguise!
This is not pain, this is a challenge that may lead to amusement.

09 Februari 2008

bacaan waktu senggang

Setelah saya coba-coba mencari artikel yg rasanya pernah saya baca di Kompas, rasanya ada beberapa stereotype tentang artikel menarik yang layak (sangat layak) dibaca di kala senggang.

Ingin bacaan lucu, baca tulisan Rudy Badil, oknum wartawan ini termasuk gerombolan Soe Hok Gie, fotonya pun ada di "catatan harian seorang demonstran", pas merasa masih ganteng kali, makanya dipasang disana, sekarang udah tua mungkin gak pede masang foto lagi, cuma kasih illustrator, piss. Meskipun tulisan lawas, tulisannya sangat enak dibaca, bikin senyum bahkan ketawa. Kalo istilah korannya bukan hard news. Saya namakan aja Mati Ketawa cara Rudy Badil.

Bacaan rada lucu, kadang lucu, kadang berusaha lucu tapi gak lucu, mungkin karena si penulis terlalu cerdas kali dan saya ndak ngerti, baca Budiarto Shambazy. Belum sekaliber Rudy Badil sih, tapi sudut pandangnya beda.


Yang terakhir spesialis In Memoriam, Rosihan Anwar. Saya suka sekali tulisan wartawan super senior ini, meskipun mungkin subyektif, toh bisa di peer-review* dari sumber lainnya. Semoga panjang umur ya Pak!

*) peer review: kayaknya saya pernah dengar tapi apa artinya sih sebenarnya entahlah, yg penting kereen, semoga gk salah pake. Tapi masalahnya "musuh-musuhnya"(B.M Diah, Mochtar Lubis, S. Tasrif) jaman masih sama-sama jadi redaktur 4 harian paling berpengaruh di Jakarta pada jaman dulu sudah pada mendahului, jadi bakal sulit mencari peer-reviewer yang layak ditandingkah.

06 Februari 2008

Pertarungan antar Master

Sabam Siagian, hebat betul tulisan Bapak tua ini, meskipun kelakuan bikin hati panas tapi dengan berat hati harus saya akui kehebatannya. Membaca bantahannya atas tulisan Emil Salim di kompas, "Tawanan dalam Gelanggang", membuat saya semakin mengaguminya. From my deepest heart: Salut Pak!

Hal semacam ini rasanya sudah semakin langka di dunia pers Indonesia, tulisan balas tulisan, mungkin kelamaan dididik gaya street justice orba. Ya Bapak Tua ini jelas didikan Belanda sih, kasar, sarkastis, tegas; jadi ingat perbincangan dosen2 mesin di PSTK tentang dosen-dosennya dulu yang didikan belanda, betapa beratnya menjadi mahasiswa. Kalau sekarang jangankan jadi mahasiswa, lulus pun gampang! Trade off nya nyari kerja susah. Yah untung aja HRD gak sebodoh pencari kerja kerjanya, tahu aja mereka bibit-bibit unggul.

Balik ke Sabam, [punten abdi copy paste]
Bagaimana tulisan tentang superioritas ilmu ekonomi diatas ilmu politik dibantah dengan taktis dan manis.
Sebagai ekonom terkemuka, dapat dipahami jika Prof Emil Salim seperti menyindir daya mampu dan kegunaan ilmu politik. Tulisnya, ”Ilmu ekonomi menggunakan perhitungan rasional yang terukur dalam nilai ekonomi dan harga pasar sehingga bisa direncanakan kebijakan memecahkan masalah sebelum (exante) masalah tumbuh lebih besar. Ilmu politik sebaliknya bersifat kualitatif dan sulit diukur secara kuantitatif sehingga sulit membuat ramalan dan prediksi.” Taruhlah secara umum kita setuju pendapat Bung Emil ini, tetapi ada kecualian yang penting dalam hal seorang sarjana ilmu politik dan kaitan teorinya dengan situasi Indonesia. Profesor Samuel Huntington dari Universitas Harvard yang mempelajari pertumbuhan lembaga-lembaga politik di negara-negara berkembang tahun 1968 menerbitkan karya yang menjadi klasik, Political Order In Changing Societies (Yale University Press). Pada Bab 1 yang bertema Political Order and Political Decay dikemukakan teori, kesulitan yang dihadapi negara-negara berkembang di bidang pembangunan politik justru meningkat setelah mereka relatif berhasil mencapai sukses awal dalam pembangunan ekonominya. Tulisnya, antara lain, jika lembaga-lembaga sosial politik di negara-negara itu tidak ikut berkembang dan tidak mampu menampung serta menyalurkan aspirasi-aspirasi baru, yang timbul justru karena keberhasilan ekonomi mereka, terjadilah political decay, kerapuhan politik, bukan political development, pembangunan politik.


Taktis dan pas banget dengan kondisi Indonesia. Kalau mau pinter emang musti sering baca ya Pak? Hebat deh... dulu sekolahnya apa ya?

Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998 karena di papan percaturan kompetisi kekuasaan, ia sudah tersudut. Semua pion telah tumbang. Agaknya terlalu simplistis untuk menghakimi Harmoko, Ginandjar Kartasasmita, BJ Habibie, dan Jenderal Wiranto sebagai Brutus yang mengkhianati Cesar tua.


Ia mundur secara mendadak pada 21 Mei 1998 bukan ”guna menghindari pertikaian lebih besar antaranak bangsa” seperti ditulis Bung Emil. Justru sebagai sikap ngambek, seperti kata orang Betawi (Jakarta) rasain lu dengan Habibie yang cenderung labil itu sebagai presiden. Seyogianya Soeharto menyiapkan proses suksesi jauh sebelumnya secara teratur dan rapi.

Bagus juga tulisan yang ini, ya meskipun kurang original, tapi masih berjiwa muda...

coño!

01 Februari 2008

lokananta

lumayan, belum sebagus pstk sih, tapi karena pstk belum bikin ya ini dulu tidak apa-apa. Hehehe, mendingan narsis daripada minder!!

Gamelan Groep Marsudi Raras Delft pada gamelan mempersembahkan tembang cantik berikut.

Group ini juga niat banget membuat identifikasi frekuensi instrumen-instrumen gamelan

today's train

A teenager boy, with his 7-8 years little brother perhaps going back home from school. The little was sleeping beside the older one, he was looked tired. I don't know why they're such an admirable figure of a human interest story. A woman smile to the little when they left the train, maybe she admired them like I did.

The moment brought me to my teenage year. Did people admire me while I pick my little sister up from a school as I admire those two boys?

Beautiful moment, truly..