23 Januari 2009

penjualan manusia via Entikong

Mengerikan! Polri ngapain aja?
Sebenarnya ingin saya posting linknya aja, tapi akses ke Kompas lambat banget, jadi ya dicopy apa adanya dari Kompas:

Jejak Hitam di Jalan Sutra
Jumat, 23 Januari 2009 | 02:22 WIB

Oleh Ahmad Arif

Pada satu pagi bergerimis, Kamis, 8 Januari 2009. Gerbang Pos Perbatasan Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sudah ramai dijejali orang dan mobil yang bergegas hendak menyeberang ke Malaysia.

Sebuah bus antarnegara dari Pontianak menuju Kuching berhenti. Para penumpang turun untuk mengecap paspor. Namun, tak ada petugas yang mengecek penumpang yang tetap berada di bus. Sementara itu, Mobil pribadi merayap pelan tanpa dihentikan petugas. Sebagian berpelat nomor Malaysia.

Di Entikong, sebagian penduduknya memang memiliki mobil bernomor polisi Malaysia. Hanya sedikit kendaraan yang berhenti. Dan, mereka segera diserbu calo borang yang menawarkan jasa untuk mengisi formulir keberangkatan dan mengecapkan paspor ke loket imigrasi. Tarifnya Rp 5.000-Rp 10.000 per orang.

”Bahkan, kita juga bisa bawa mobil ke Tebedu, Malaysia, tanpa mengecap paspor maupun mengurus pas masuk untuk mobil,” kata Kepala Desa Entikong Markus Sopyan.

Siang itu kami membuktikan omongan Markus tersebut. Mobil bernomor polisi Kalbar yang kami tumpangi melewati pos imigrasi Entikong tanpa dihentikan petugas. Di pos imigrasi Malaysia, mobil juga bebas melenggang. Kami pun menyusuri Negara Bagian Sarawak tanpa mengecap paspor maupun mengurus izin masuk untuk kendaraan.

Jaringan antarnegara

Melalui Jalan Sutra—istilah setempat untuk jalan utama di wilayah Entikong hingga perbatasan Tebedu—itulah pada 8 Juni 2008, Santi (15)—bukan nama sebenarnya—diselundupkan ke Malaysia tanpa paspor. Siswi kelas II SLTP ini diculik ketika berangkat ke sekolah di Bandar Lampung. Dia dibawa ke Pontianak, disekap di Entikong, lalu dijual kepada sindikat pelacuran di Malaysia.

”Saya membawa dia lewat pos Entikong tanpa diperiksa. Di pos imigrasi sudah ada yang mengatur,” kata Nurdin, anggota jaringan yang bertugas membawa korban melewati pos perbatasan.

Kelonggaran pemeriksaan di gerbang perbatasan Entikong jelas mempermulus gerak sindikat perdagangan manusia antarnegara. Namun, Kepala Kantor Imigrasi Pos Lintas Batas Entikong Sugeng Harjanto membantah keras hal ini. ”Tak mungkin gerbang Entikong dijadikan jalur trafficking. Tak semudah itu membawa korban trafficking lewat pos, kami sudah melakukan pemeriksaan ketat,” katanya.

Sugeng lalu memberi data tentang 91 perempuan dan 15 laki-laki yang ditolak berangkat ke Malaysia selama tahun 2008 karena tak memiliki dokumen lengkap. Pada tahun yang sama, jumlah WNI yang melewati pos perbatasan Entikong ke Malaysia tercatat 225.831 orang.

Namun, Sugeng mengakui, pihaknya memberi kelonggaran kepada warga Entikong untuk lewat tanpa mengecap paspor. ”Imigrasi Malaysia juga melakukan hal yang sama. Staf kami sudah mengenali semua warga Entikong, biasanya mereka hanya belanja ke Tebedu. Jika mau keluar dari Tebedu tanpa paspor, pasti berisiko karena setelah di Serian ada pos pemeriksaan polisi Malaysia,” katanya.

Faktanya, banyak korban trafficking diselundupkan dengan memanfaatkan celah ini. Modusnya, korban dibawa dengan mobil pribadi lewat pos perbatasan seolah-olah hendak belanja. Di Tebedu, korban dijemput anggota sindikat dengan mobil Malaysia.

Enam dari delapan korban trafficking yang kami temui di penampungan Konsulat Jenderal RI di Kuching menyebutkan, mereka masuk ke Malaysia dengan modus ini. Mina (23), juga bukan nama sebenarnya, dibawa Diana dan Tus—keduanya warga Entikong—melewati gerbang Entikong awal Februari 2008. ”Kami naik mobil Kijang merah. Diana dan Tus seperti sudah kenal petugas di perbatasan. Kami tidak diperiksa,” kata Mina.

Kepala Kepolisian Sektor Entikong Ajun Komisaris Miko Indrayana mengakui, bebasnya warga Entikong keluar-masuk pos perbatasan tanpa pemeriksaan paspor rentan disalahgunakan. ”Kami sudah menangkap beberapa pelaku yang akan menyelundupkan orang lewat pos. Korbannya sebagian anak-anak,” ujarnya.

Lebih repot lagi adalah menangkal masuknya korban trafficking yang sudah dibuatkan paspor oleh anggota sindikat. Karut-marut pendataan kependudukan mempermudah pembuatan paspor aspal, asli tapi dengan data palsu.

Seli (16), korban trafficking asal Indramayu, mengaku dibuatkan paspor oleh agen TKI di Jakarta. Namanya diubah, umurnya dituakan menjadi 21 tahun.

Banyak celah untuk menyelundupkan korban ke Malaysia. ”Mobil bernomor polisi Malaysia biasanya tak dihentikan oleh polisi di pos Serian. Yang dihentikan hanya mobil bernomor polisi Indonesia,” kata Ade Alhatta, sopir truk Entikong-Kuching.

Hari itu, Jumat, 9 Januari 2009, tak ada pemeriksaan di pos polisi Malaysia di Serian. Mobil yang kami gunakan melenggang dari Tebedu hingga Kuching. ”Memang tak tiap hari ada pemeriksaan,” kata Ade.

Begitu korban trafficking berada di wilayah Malaysia, mereka dengan mudah dipindahtangankan dan diperlakukan semaunya oleh anggota sindikat. ”Ribuan orang Indonesia diduga terjerat jaringan sindikat trafficking ini,” kata Komisaris Hendra Wirawan, perwakilan Polri di Kuching. Di sana, perempuan-perempuan itu disiksa dan dilacurkan.... (C Wahyu Haryo PS)

16 Januari 2009

ceroboh

Begitulah komentar saya tentang berita2 ini
BBC
Antara
Seharusnya pengurus bisa lebih berhati-hati, dan ketika semua telah terjadi sebaiknya mengakui kesalahan saja, daripada menyangkal apa yang benar-benar terjadi. Kalau terbukti bohong akan lebih memalukan lagi.

12 Januari 2009

06 Januari 2009

for computer scientists


http://www.janestreet.com/technology/ocaml.php

Such an explainable stuff during my undergraduate. How could be such programming paradigm get the claws in this respectable area. It's really a great opportunity for computer scientists who cling on scientific field instead of hacking.

It was nine or ten years ago, when I was introduced to LISP and prolog, which that time considered as unprospective programming language, therefore soon they were left and I switched to procedural language; C, pascal and the descendants.

Anyhow I must realize that this is not for mediocre. Meanwhile job market demands more procedural programmer that must be filled.

This post is only encouraging top students to stick to their area of interest instead of devoting theirselves into market demand which is suitable for mediocre like me. Somehow there must be appreciation for hardwork, somewhere!