16 Juni 2009

copy paste clipboard into emacs


It was quite long time I could not find out how to copy clipboard into emacs editor. I didn't find any clue, even in the information flooded internet. Until my linux freaky friend told me how to do it.

The solution is very simple. It is a simple basic principle in linux. Block the text you want to copy using mouse. Move to emacs screen, put your mouse cursor in desired position. Press middle click, or in some laptop this middle click is emulated by clicking left and right click together.


09 Juni 2009

free will

Melanjutkan bahasan tentang finite of an infinite yang dikaitkan dengan free will, dalam bahasa Indonesia adalah kebebasan berkehendak. Kayaknya Miss Indonesia 2009 gak bisa deh mengartikan free will ini ke bahasa Indonesia.

Adalah Benedictus Spinoza yang merumuskan bahwa sebenarnya manusia tidak mempunya free will. Sebuah pernyataan yang sesuai dengan teori saya. Berikut pernyataan Spinoza,

"There is no mind absolute or free will, but the mind is determined for willing this or that by a cause which is determined in its turn by another cause, and this one again by another, and so on to infinity."

Penafsiran saya free will itu memang tidak ada, semua hal itu ditentukan oleh hal-hal lain. Jadi ketika suatu hal tidak diajarkan, atau suatu hal tidak dapat dihasilkan melalui suatu penalaran(dari hal-hal yang diajarkan) maka hal itu tidak akan ada. Lebih lanjut tentang hal-hal lain yang disebabkan oleh hal-hal lain dan seterusnya sampai infinite akan sampai pada pernyataan yang sama dengan masalah infinity, finite ke mana?

05 Juni 2009

Hambatan Struktural dalam Pendidikan


Sebuah postingan menarik tentang "Beasiswa ITB untuk Semua", yang membuktikan bahwa pintar saja tidak cukup untuk menikmati kuliah. Masih ada banyak
halangan struktural yang menghambat bahkan menghentikan kesempatan anak bangsa melanjutkan pendidikan tinggi. Dalam kisah berikut ini saja saya temukan antara lain:
1. Lingkungan yang belum sadar akan perlunya pendidikan. Tidak adanya dukungan lingkungan atau bahkan cemoohan dari lingkungan akan membuat siswa sepintar apapun kehilangan motivasi.
2. Keperluan surat-surat legal. Hal ini merupakan dampak atas kurangnya pengetahuan orang tua, kondisi ekonomi dan kondisi tempat tinggal yang jauh dari pusat administrasi pemerintahan.
3. Kemampuan ekonomi orang tua.
4. Lokasi tempat tinggal

Dengan berbagai hambatan tersebut diatas jelas bisa membuat kandidat mahasiswa berkecil hati, putus asa dan berhenti. Namun dengan bimbingan, pengorbanan dan usaha orang-orang yang mau dan mampu hambatan tersebut bisa sirna. Hanyalah keajaiban yang bisa membuat siswa-siswa ini keluar dari belenggu lingkungannya, disinilah diperlukan keberadaan pihak lain yang mau dan mampu mewujudkan mimpinya. Saya yakin sebenarnya banyak orang yang mau membantu tapi tidak mampu, ataupun mampu membantu juga tapi butuh teman seperjuangan. Kemauan dan kemampuan hanya akan jadi angan-angan jika tidak dikelola dengan baik, namun ketika hal kecil-kecil itu bisa dikelola sebuah karya besar akhirnya bisa tercipta.

Berikut ini kisahnya: (saya copy paste dari sebuah milis)

Ditulis oleh Sri Pujiyanti
ITB untuk Semua: The Experience


Ketika Lemet mengajak saya untuk terlibat di program beasiswa ini, saya
tidak menyangka bahwa akan semenguras emosi seperti ini. Saya pikir, ini
akan jadi sebuah pengalaman yang biasa-biasa saja.

Akan tetapi, ternyata pengalaman yang saya rasakan berbeda. Saya ikut
terlibat, berkali-kali menangis dan tertawa ketika anak-anak itu menangis
dan tertawa. Padahal saya tidak kenal mereka.

Dimulai ketika proses seleksi dan saya harus membaca aplikasi sekitar 100-an
buat dinilai. Reaksi saya beragam terhadap aplikasi yang saya baca. Kadang
saya marah, karena saya merasa si anak tidak melakukan apa-apa kecuali
mengeksploitasi kemiskinannya (please..ini bukan ajang reality show..),
kadang saya ikut menangis dan ikut marah. Kesedihan dan kemarahan terhadap
sistem yang seringkali terbaca di aplikasi itu. Anak-anak perkasa yang
membuat saya malu karena saya-dibandingkan mereka-terasa begitu lemah.
Kemalangan yang sering saya rasakan terasa tidak sebanding dengan mereka.
Rata-rata memuja ITB. Ketika kemarin saya bilang, pada seorang anak peserta
beasiswa yang ke Bandung, bahwa ITB tidak seharusnya semahal ini, dia
menatap saya, dan berkata, wajar, dengan kualitas seperti ITB...dan saya
balik menatap dia dengan sedih, tidakkah ketika perguruan tinggi yang
harusnya memberikan tempat buat semua orang yang memiliki kapasitas kini
diembel-embeli juga kemampuan secara finansial sudah merenggut harapan akan
perubahan masa depannya? Si anak itu tidak menyadarinya, bahwa negara sudah
bersikap tidak adil padanya...

Naik turunnya emosi saya kemudian benar-benar terjadi ketika proses
pengumpulan 200 siswa SMA terpilih untuk mengikuti proses seleksi USM di
Bandung. Saya bertugas menghubungi 12 anak untuk memastikan perjalanan
mereka lancar sampai Bandung. Rata-rata mereka antusias. Ada yang cemas
karena tidak mau naik pesawat. Ada yang saya sampai harus membujuk ayahnya
supaya melepaskan anak perempuannya sendiri pergi ke Bandung dari Belitung
yang jauh, dan beliau menelpon saya setiap menit setelah anaknya berangkat,
ingin tahu kabarnya. Ada yang cerewet dan tidak berhenti bertanya. Ada yang
tidak ditemukan. Satu anak. Adi Wijaya. Di sebuah daerah antah berantah di
Lampung Selatan. Tidak ada telpon, tidak ada internet. Saya bingung.
Kesempatan ini tidak boleh dibuang. Untungnya, pada saat-saat yang mepet,
Febi (alumni Gea 94) menghubungi Rezi dan Mbak Nunik, pasangan suami istri
alumni Fisika 93, dan pada malam keberangkatan ke Bandung, berangkatlah
mereka dari Bandar Lampung ke Lampung Selatan mencari Adi Wijaya. Satu
kampung diubek-ubek. Alamatnya tidak jelas. Akhirnya, Mbak Nunik 'menyeret'
sang kepala desa' mencari, dan pukul lima sore, mereka berhasil menemukan
Adi WIjaya yang kebingungan. Tes USM? Ke Bandung? Saya bilang, tiket bis ke
Bandung di Bandar Lampung sudah menanti. 4 temannya yang lain sudah
menunggu. Adi, dengan perbekalan seadanya dan persyaratan yang belum
lengkappun, dikirim Mbak Nunik pukul setengah delapan naik bis ke Bandung.
Wow, ketika dikabari Mbak Nunik bahwa mereka berhasil menemukan Adi, saya
kagum dan merasa, wow..kalau alumni ITB ini bersatu, apa yang tidak bisa
mereka lakukan ya?

Ketika mereka mendaftarkan diri, mulailah masalah itu dimulai. ITB
sebenarnya sudah menyediakan waktu khusus untuk mereka sehingga tidak harus
berdesakan dengan 2000-an peserta lain yang membayar 800 ribu, akan tetapi
miskomunikasi yang terjadi membuat semua orang pontang panting. Tiba-tiba
syarat tes buta warna yang sebelumnya tidak mengemuka muncul. Sempat muncul
kepanikan gimana caranya 200 anak harus tes buta warna dalam waktu dua jam?
Akhirnye beberapa relawan menggiring anak-anak itu ke poli ITB. Karena hari
itu hari Jumat, dan jam 11 tutup, kemudian sebagian digiring ke Boromeus.
Anak-anak itu jalan kesana kemari, kelelahan. Tiba-tiba ada kabar bahwa
loket akan tutup pukul 11 dan anak-anak yang belum mendaftar sampai pukul 11
tidak akan diperbolehkan ikut tes keesokan harinya. Kami semua tercengang.
Langsung beberapa orang mengangkat telpon mencoba mengulur waktu. Pak DL pun
langsung muncul, mencoba membantu melonggarkan peraturan. Akhirnya, waktu
diperpanjang, tapi tes harus beres. Jadilah kami semua berjalan
rektorat-poli Salman-Boromeus tidak berhenti.

Belum selesai. Muncul isu bahwa kartu UN tidak bisa dipakai. Harus surat
keterangan mengikuti UN dari sekolah. Paniklah anak-anak yang tidak
mempunyai surat itu. Adi, yang datang ke Bandung cuma berbekal surat
keterangan domisili dan kartu UN, hampir menangis di loket. 'Mbak, saya ga
boleh daftar,' dia berbisik pada saya dengan wajah bingung. Bapak petugas
kemudian menjelaskan peraturannya. Saya mengangguk, kemudian bercerita
tentang kisah Adi. Si Bapak lalu sepakat, ok, tapi difax ya surat yang belum
lengkap? Adi menggeleng, 'Tidak bisa, Pak.' Si Bapak bertanya.'Masa fax aja
ga ada?' Si Adi dengan tercekat berkata,'Disana bukan Bandung, Pak...'. Saya
menendang kakinya. Sanggupi saja. Nanti kita urus. Adi kemudian mengangguk.
'Iya Pak, nanti saya coba'. Ketika dia kemudian saya tawari makan, dia sudah
ceria lagi.

Perlahan-lahan urusan mulai beres. Anak-anak yang kelelahan mulai makan,
tapi masih semangat. Ketika setelah makan Adi kembali lagi ke loket, tidak
berapa lama kemudian dia kembali lagi ke saya dengan wajah kembali
sedih.'Katanya ga boleh, mbak.' 'Lho, tadi?" "iya, sekarang katanya ga
boleh.'

Saya mulai naik darah.'Kenapa ga boleh?' 'Karena katanya sudah dikasih tau
sebelumnya bahwa harus ada akta kelahiran. Kalau sekarang ga ada akta, ga
boleh.' 'Tapi kan kamu TIDAK TAHU SEBELUMNYA. Surat dari ITB tidak sampai.
Dan kamu cuma punya waktu dua jam buat mempersiapkan diri.' Tiba-tiba saya
ingin menangis. Menatap wajah anak itu, yang bingung, sedih, marah, saya
merasa jadi dirinya, yang hidupnya, nasibnya, dipermainkan sebuah sistem.
Apa tidak ada kebijakan? Tiba-tiba ingat kata-kata kakak ipar saya yang anak
psikologi.'Anak eksakta kan begitu. Kaku. Kadang esensinya ga jelas.' Dan
saya seperti menemukan kebenaran kata-kata itu pada saat itu.'Gimana dong,
Mbak?' 'Balik lagi ke sana.' 'Ga boleh, mbak.' Lalu saya bertanya pada
panitia lain,'Kok ITB ketat sekali sekarang? Dulu saya ga disuruh
menyerahkan akta asli' Seseorang menjawab.'Joki.' Saya menyembur dengan
kesal.'Lihat dong wajahnya. Apa dia bertampang bisa bayar 5 juta buat joki?
Dia bukan MEREKA. Anak-anak yang entah dirinya entah orang tuanya, ingin
masuk ITB dengan segala cara. Saya kemudian meminta seorang teman, yang
setau saya pandai membujuk (:D) untuk menemani Adi. Saya marah. ingin
nangis. saya harus pergi dari sini. ketika endah menelpon saya dan bilang
salah satu anak asuhannya rusak kacamatanya, saya kemudian memilih menemani
anak itu mencari optik.

Ketika jam 5 saya kembali ke lapangan aula barat, adi masih belum terlihat.
juga charly, teman saya itu. saya gundah. saya tanya seorang teman,'gimana
adi?' 'belum, masih dilobi.' saya tambah tidak enak badan. seorang teman
berusaha menghibur dan bilang.'itu yang paling baik buat adi.' saya
menggeleng.'dia mungkin akan sukses tanpa ITB.' saya menggeleng lagi.kenapa
harus begitu sulit untuk anak-anak seperti dia? hidup sudah cukup sulit buat
mereka. apalagi yang harus mereka buktikan pada Tuhan sehingga Tuhan memberi
mereka ujian lagi? saya akhirnya memutuskan pulang. mampir dulu ke
penginapan anak-anak itu, memastikan konsumsi makan malam beres. lalu
pulang. di jalan saya meledak. menangis sepanjang jalan. suami saya
menelpon. dan dengan diiringi isak tangis sayapun bercerita. saya marah,
seperti inikah seharusnya ini berakhir? seperti inikah potret manusia
kebanyakan di negeri ini? akta kelahiran yang dua ratus ribu pasti sulit
untuk sebagian orang. seperti inikah keadilan di negeri ini?

saya tahu kalau saya sudah terlibat emosi terlalu dalam, sayapun berusaha
mengambil jarak. bermain dengan anak-anak saya. walaupun saya tahu, saya
masih berpikir tentang anak satu itu. ketika lemet mengsms bahwa semua
peserta telah beres pendaftarannya, saya cuma mengsms balik dengan satu
kata.'adi?'

alangkah leganya ketika lemet menjawab.'adi aman'. saya mulai tersenyum.
duhh...padahal dia bukan anak saya. saya tidak kenal dia. kenapa saya harus
ikut tersenyum dan menangis bersama dia?

ketika pagi harinya saya harus ke kampus mengantarkan satu anak yang tidak
berseragam-mencari dulu seragamnya-daerah seputar itb sudah penuh sesak.
mobil-mobil bersesakan. dan entah kenapa saya marah. sebal melihat mereka
yang dengan seenaknya menaruh mobil dimana saja, bahkan di tempat yang ada
larangan parkir, hanya karena mereka punya mobil, mereka butuh parkir, dan
anak mereka mau ujian (saya lupa, saya juga bawa mobil...:D tapi saya
rasanya tidak pernah seenaknya). saya marah melihat anak-anak yang dikawal
kedua orangtua dan adik-adiknya menjinjing tas mahal dan mungkin keluaran
bimbel paling canggih melangkah masuk kelas (saya tahu, saya mulai jadi
rasis...padahal mungkin suatu saat saya akan bersikap seperti itu pada anak
saya). saya sedih melihat anak-anak saya, 200 anak itu, harus jalan dari
rektorat ke itb karena jalan macet dan bis tidak bisa lewat. wajah mereka
lelah. mereka tidak mampu ikut bimbel yang harganya selangit. sepatu mereka
pinjaman sehingga longgar dan melecetkan kakinya. saya tidak suka bahwa ITB
tidak mempedulikan kenyataan bahwa pengguna jalan lain terganggu dengan
kemacetan itu. Saya terjebak macet 2 jam dari gelapnyawang ke rektorat yang
kalau ditempuh dengan jalan kaki hanya 5 menit. Apakah itu sebuah tolok ukur
yang harus dibanggakan? Berapa panjang kemacetan karena ujian ITB? Bisa
dibandingkan dengan berapa kilometer antrian orang ingin membeli sepatu
crocs? Apakah ITB sudah direduksi sedemikian rupa sehingga hanya menjadi
barang konsumsi? Seperti sebuah sepatu? Siapa yang punya uang dia yang
dapat?

Ketika sore sebelumnya fani tiba-tiba jadi danlap dan menyerukan salam
ganesha yang legendaris itu-anak-anak itu bersemangat mengikutinya-saya
tiba-tiba merasa berada di tanah asing. saya merasakan campur aduk.
ah...pengalaman yang memperkaya. mudah-mudahan anak-anak perkasa itu
mendapatkan jalan yang paling baik. dan saya, yang disentuh oleh mereka, mau
berbuat sesuatu.

-untuk 200 adik-adikku yang hari ini mengikuti ujian, saya mendoakanmu
dengan tulus. jadi orang yang baik ya. itu yang paling penting. suatu saat,
kamu bisa membantu 200 orang yang lain. dan buat para relawan yang bekerja
tanpa dibayar, tidak dikasi makan, dan tetap semangat 24 jam, two thumbs
up!!!!-

yang juga harus dicatat disini adalah kegigihan para relawan yang tidak ada
duanya. ada yang sampai nyari sendiri ke rumah si anak...febi yang
menggunakan jaringannya (maksudnya, teman dan adiknya) buat mencari
anak-anak yang belum ditemukan, ben yang sampe googling the earth dan
menelponin tiap rumah di satu kompleks untuk sampai ke anak yang dimaksud,
mbak nunik dan rezi yang bela-belain banget. ada yang bayarin peserta dari
kantong sendiri...sungguh memberikan harapan ketika orang-orang mengeluh
pada saya bahwa mereka tidak punya cukup waktu untuk membantu lebih banyak
(atau marah karena mereka tidak bisa membantu!). dan kepeduliannya itu. febi
yang selalu nanya, si adi gimana? (padahal bukan anaknya...). Mbak Nunik
yang berkali-kali menelpon setelah mengirim Adi memastikan anak itu
baik-baik saja, dan kemudian membantu membuatkan surat kelahiran yang baru.
with angels like you (yah, kalian semua volunteer yang tidak saling kenal
tapi teuteup cengengesan)...the world seems a better place...